Mengalang perubahan perlunya perspektif gender dalam otonomi daerah
No. Panggil : | 305.4 |
Nama Orang : | Gadis Arivia |
Subjek : | |
Penerbitan : | Jakarta : YJP, 2004 |
Bahasa : | Indonesia |
ISBN : | [979-3520-01-9] |
Edisi : | Cet. 1 |
Catatan Umum : | |
Catatan Bibliografi : | |
Catatan Seri : | |
Sumber : | |
Lembaga Pemilik : | Perpustakaan STIK |
Lokasi : | Lantai 3 |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
305.4 | 13-443-09 | TERSEDIA |
Catatan: Hanya file pdf yang dapat dibaca online
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 5326 |
Kebijakan otonomi daerah mungkin bisa memberikan rasa adil bagi sebagian masyarakat. Tetapi apakah kebijakan otonomi daerah sudah memberikan keadilan bagi perempuan dan laki - laki secara setara? Hal ini penting untuk dipertanyakan karena dari sejumlah kebijakan publik di tingkatan daerah selama proses pelaksanaan otonomi daerah ini nampaknya persoalan kesetaraan gender ini belum mendapat perhatian utama. Bahkan, sejumlah daerah secara sengaja atau tidak justru menjadikan perempuan sebagai obyek peraturan. Misalnya, karena maraknya prostitusi yang ujungnya melarang perempuan keluar malam, atau melakukan razia terhadap perempuan yang keluar malam. Padahal dalam kenyataan praktek perdagangan perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan praktek korupsi terjadi di daerah tersebut.
Jelas hal ini menunjukkan peraturan daerah secara sengaja atau tidak telah membatasi ruang gerak perempuan dan menegasikan persoalan yang nyata. Sementara disisi lain, masih banyak persoalan perempuan yang tidak mendapat perhatian seperti kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, rendahnya mutu kesehatan bagi perempuan, hilangnya kesempatan kerja perempuan dan tidak terwakilinya suara perempuan dan praktek korupsi terjadi di daerah tersebut.
Jelas hal ini menunjukkan peraturan daerah secara sengaja atau tidak telah membatasi ruang gerak perempuan dan menegasikan persoalan yang nyata. Sementara disisi lain, masih banyak persoalan perempuan yang tidak mendapat perhatian seperti kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, rendahnya mutu kesehatan bagi perempuan, hilangnya kesempatan kerja perempuan dan tidak terwakilinya suara perempuan secara memadai di parlemen.
Jelas hal ini menunjukkan peraturan daerah secara sengaja atau tidak telah membatasi ruang gerak perempuan dan menegasikan persoalan yang nyata. Sementara disisi lain, masih banyak persoalan perempuan yang tidak mendapat perhatian seperti kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, rendahnya mutu kesehatan bagi perempuan, hilangnya kesempatan kerja perempuan dan tidak terwakilinya suara perempuan dan praktek korupsi terjadi di daerah tersebut.
Jelas hal ini menunjukkan peraturan daerah secara sengaja atau tidak telah membatasi ruang gerak perempuan dan menegasikan persoalan yang nyata. Sementara disisi lain, masih banyak persoalan perempuan yang tidak mendapat perhatian seperti kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, rendahnya mutu kesehatan bagi perempuan, hilangnya kesempatan kerja perempuan dan tidak terwakilinya suara perempuan secara memadai di parlemen.
:: Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)
LONTAR 4 :: Library Automation and Digital Archive