Kebijakan penertiban tukang ojek sebagai keputusan pimpinan birokrasi yang lebih tinggi, merupakan sebuah perintah yang harus dilaksanakan pimpinan birokrasi yang lebih rendah. Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kebijakan dan strategi yang lahir akibat adanya kebijakan dari pimpinan birokrasi yang lebih tinggi, kebijakan tersebut dapat diinterpretasi lain pada tingkat pelaksana, akibat adanya kewenangan diskresi yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pengumpulan data dilakukan melalui metode kualitatif dengan metode penelitian etnografi. Pengamatan difokuskan pada manajemen operasional tingkat Polres, tindakan, ungkapan, perasaan anggota pelaksana penertiban, juga tukang ojek yang menjadi sasaran penertiban, masyarakat dan asal usul sepeda motor ilegal. Penelitian menunjukkan bahwa kebijakan Kapolda secara berjenjang kebawah menjadi acuan kesatuan bawahannya untuk menentukan kebijakan dan strategi, hingga teknis pelaksanaannya. Kapolres menginterpretasi kebijakan Kapolda dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang menyebabkan kebijakan itu timbul. Pada akhirnya Kapolres menggunakan kewenangan diskresi sebagai kebijakan dan strategi tingkat Polres. Demikian pula Kapolsek ketika mengacu kebijakan dan strategi Kapolres, dia melihat kondisi permasalahan di daerahnya. Pelaksanaan diskresi itu pada akhirnya menimbulkan peluang pada tingkat pelaksana untuk menginterpretasi lain kebijakan pimpinannya, yaitu kesempatan untuk korupsi. Kesimpulan yang diambil yaitu kesatuan bawah ketika menginterpretasi kebijakan kesatuan atas, dipengaruhi oleh keadaan lingkunan permasalahan berkaitan dengan kebijakan itu, sehingga digunakan kewenangan diskresi. Adanya kewenangan diskresi tersebut, dapat menimbulkan interpretasi lain akibat adanya peluang melakukan penyimpangan dalam bentuk korupsi polisi.