Abstrak
Fenomena oligarki yang begitu kental dalam proses pencalonan legislatif Pemilu 2004, disatu pihak merupakan warisan otentik struktur otoriter Orde Baru yang mengharamkan partisipasi rakyat dan sebaliknya, menghalalkan mobilisasi oleh negara beserta agen - agennya seperti birokrasi sipil dan militer. Di pihak lain, ketika Soeharto dan oligarki negara ala Orde Baru runtuh, para politisi partai pasca Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarkis baru melalui partai - partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi struktur tradisi sosio kultur lokal. Akibatnya, kesempatan bagi rakyat untuk menjadi faktor determinan dalam proses politik yang telah dibuka melalui gerakan reformasi acapkali terbelenggu oleh struktur masyarakat yang cenderung patrimonial dan feodalistik. Sementara itu, berbagai instrumen demokratis yang direkayasa untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pada akhirnya hanya menjadi proformabirokratis yang justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarkis dalam kehidupan partai politik.
Lebih jauh lagi, buku ini memperlihatkan bahwa institusionalisasi politik yang menjadi kata kunci dalam demokratisasi, belum bisa berlangsung. Partai - partai politik ditingkat lokal, meskipun merupakan kepanjangan struktur partai yang sentralistik di tingkat nasional, akhirnya menjadi wadah akomodasi bagi "re-tradisionalisasi" politik karena untuk sebagian kasus, faktor - faktor kultural-tradisional lebih berpengaruh dalam proses seleksi para elite politik di legislatif ketimbang faktor kapasitas politik.