Abstrak
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan pendidikan yang diminati oleh banyak perantau baik dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Di tingkat daerah, Penganan konflik sosial yang terjadi di Yogyakarta mengacu terhadap Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial, bertujuan untuk menjaga situasi keamanan, ketentraman, ketertiban dan kedamaian di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wujud tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam memenuhi hak-hak asasi Masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui gaya kepemimpinan kharismatik babinkantibmas dalam mencegah konflik indonesia Timur terhadap penduduk lokal di Yogyakarta. Untuk menganalisis karakteristik konflik Indonesia Timur terhadap penduduk lokal di Yogyakarta. Dan untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu Teori konflik Dahrendrof adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendrof menganggap konflik adalah satu bagian dari realitas sosial, yang mana konflik tersebut juga bisa menyebabkan perubahan dan juga perkembangan. Menurut Veithzal Rivai (2004) SDM adalah seorang yang siap, mau dan mampu memberi sumbangan usaha pencapaian tujuan organisasi.. Dalam penelitian ini nantinya penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif dalam melakukan penelitian di mana tujuannya untuk mendeskripsikan secara mendalam mengenai kepemimpinan kharimsatik babinkambtibnas dalam menangani konflik sosial Indonesia Timur dengan warga lokal Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukan selain culture shock, terdapat juga apatisme mahasiswa Timur sebagai perantau yang menghambat mereka untuk melakukan interaksi dan sosialisasi secara aktif dengan penduduk setempat. Bentuk apatisme mereka akhirnya akan menjadikan susahnya untuk menjalin interaksi bahkan membentuk integrasi dengan masyarakat setempat. Kehidupan mahasiswa Timur yang apatis ini didasari dengan rasa malas bahkan rasa acuh tak acuh dengan keadaan lingkungan sosial mereka yang baru. keputusan untuk menjadi apatis nantinya akan mempengaruhi keleluasaan mereka dalam melalukan dan menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya.