Abstrak
Penelitian ini berfokus untuk meneliti mengenai penghentian penyidikan tindak pidana dalam rangka mewujudkan kepastian dan kemanfaatan hukum. Dimana dalam hal ini Penyidik Polri seringkali dihadapkan pada posisi dilematis karena penegakan hukum yang diharapkan menciptakan keteraturan social justru mengakibatkan terjadinya ketidakteraturan sosial. Fenomena tersebut dapat diamati melalui penyelenggaraan penegakan hukum dalam perkara LP No: LP/ B/ 137/ IV/ 2022/ SPKT/ Polres Lombok Tengah/ Polda Nusa Tenggara Barat dengan tersangka Murtede alias Amaq Sinta yang sempat menarik perhatian publik. Adapun tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk meneliti tentang penghentian penyidikan serta faktor-faktor yang mempengaruhi penghentian penyidikan untuk mewujudkan kepastian dan kemanfaatan hukum. Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan desain studi perkara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dalam menangani perkara LP No: LP/ B/ 137/ IV/ 2022/ SPKT/ Polres Lombok Tengah/ Polda Nusa Tenggara Barat, Penyidik Polres Lombok Tengah menerapkan hukum secara normatif yuridis yang lekat dengan sifat-sifat prosedural dan mengenyampingkan rasa keadilan yang menjadi harapan masyarakat. Namun kemudian, kehendak masyarakat dapat diakomodasi oleh Penyidik Ditreskrimum Polda NTB dengan pendekatan yang lebih progresif keteraturan social dapat terpelihara. Faktor-faktor yang memengaruhi penyidik dalam melakukan penghentian penyidikan yaitu substansi hukum itu sendiri, aparat penegak hukum dan legitimasi masyarakat.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa penghentian penyidikan tindak pidana dapat memberikan kepastian dan kemanfaatan hukum jika diselenggarakan dengan cara-cara yang progresif untuk mengatasi kebuntuan dalam penerapan hukum pidana. Namun demikian, metode ini tidak serta merta dapat diselenggarakan pada setiap penghentian penyidikan tindak pidana.