Abstrak
Modus operandi "baru" dalam pengedaran narkotika adalah mengerahkan perempuan secara massive untuk dijadikan kurir. Sebelumnya perempuan-perempuan itu dijadikan pacar, kekasih gelap, istri, atau berada dalam relasi personal yang dekat dengan laki-laki yang menjadi patron dalam pengedaran narkotika. Relasi personal diiringi oleh relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan diperintahkan untuk membawa narkotika dari dan keluar Indonesia. Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa perintah tersebut juga disertai oleh kekerasan bila perempuan menolak. Karena seksualitasnya, perempuan dianggap mudah diperdaya, tidak dicurigai membawa "barang gelap", menurut dan tidak bertanya, dan biasanya perempuan mau menerima pekerjaan itu, karena dialah yang menempatkan diri sebagai survivor kemiskinan keluarga. Mereka juga tidak diberi opsi tentang risiko pekerjaan tersebut, yaitu dipenjara dan sampai mendapat hukuman mati.
Sementara itu hukum menempatkan mereka sebagai kriminal karena yang lebih dipentingkan adalah konfirmasi tuduhan jaksa dengan bunyi pasal-pasal dalam undang-undang, Mereka melakukan pekerjaan dengan "Sukarela" dan tertangkap tangan. dan tidak ada pertimbangan untuk meringankan. Pengalaman perempuan latar belakang mengapa mereka melakukannya dan bagaimana sampai trtangkap di Bandara tidak diperhitungkan. Lebih-lebih lagi tidaklah dipahami bahwa kegiatan mengguanakan perempuan tersebut dapat menunjukkan adanya fenomena perdagangan perempuan dengan atribut adanya perekrutan penyekapan atau pembatasan gerak, migrasi, memberi pekerjaan yang berbahaya, kekerasan perendahan, Instrumen hukum khususnya kovensi Internasional berkenaan dengan perdagangan perempuan, tdak menjadi acuan dalam proses peradialn, Akhirnya perempuan-perempuan itulah yang sekarang mendekam di penjara dan menantikan hukuman mati, Setelah mereka mati barangkali akan ada 100 perempuan lain yang menggantikan dengan kisah-kisah yang sama.