Abstrak
Timbulnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia selain dibuat untuk memacu aktivitas perekonomian dengan jaminan kepastian hukum terutama bagi pengusaha-pengusaha kecil untuk menghadapi ekonomi global sehingga dapat diharapkan lebih tahan dan tidak mudah terpengaruh oleh perubahan perekonomian yang sangat pesat dan kompleks antara lain disebabkan oleh keterlambatan pertumbuhan hukum terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Kekhasan jaminan fidusia tidak dimaksudkan sebagai pemilik, tetapi tujuannya adalah untuk memberikan, jaminan kepada kreditur sehingga bentuk ini sebagai penyerahan milik. Maksud memberikan kepada kreditor suatu kepemilikkan hak atas suatu benda tidak alin memberikan kewenangan sebagai seseorang yang berhak atas benda jaminan atau zekerheidsgerechtigde. Pemilik yang berpiutang tidak diperkenankan mempergunakan benda jaminan sebagai pemilik, walaupun itu milik pribadi. Ia tidak mempunyai hak memakai lebih dari seorang pemakai gadai. Dengan demikian, berdasarkan perjanjian antara kreditor dan debitur, kreditor bukan pemilik dari benda itu, tetapi mempunyai hak kepemilikan dengan hak sangat terbatas. Merupakan suatu kekhususan dalam bentuk kepemilikan ini, dimana derajatnya turun menjadi suatu hak accessoir, Sama halnya dengan setiap hak jaminan lainnya, kepemilikan ini melekat pada uatu kedudukan sebagai kreditor atau crediteurschap. Dalam rangka memberikan kepastian hukum pada kreditor penerima jaminan fidusia, UU No.42 Tahun 1999 perlu dicabut dan lembaga fidusia selain wajib dibuat secara notariil wajib pula mempunyai kekuatan eksekusi sebagaimana diberlakuakn pada akta penguatan utang menurut Pasal 224 H.I.R/pasal 258 Rbg mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan yang tetap. Sementara UU No.42 Tahun 1999 belum dicabut, maka perlu adanya upaya untuk melakukan perbaikan atau amandemen terhadap beberapa pasal dalam UU No. 42 Tahun 1999, tentang Jaminan fidusia. Pasal-pasal yang perlu diakukan perbaikan antara lain pasal-pasla yang berkonflik dan pasal-pasal yang memiliki norma yang kabur tersebut. Seain itu juga diperlukan adanya instansi beserta aturan antar instansi yang menerbitkan surat bukti kepemilikan atas benda yang menjadi obyek jaminan. Adanya aturan antar instansi tersebut akan memperkecil dan mencegah debitur yang tidak beritikad baik, menyalahgunakan celah-celah dan kelemahan pengaturan dalam UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Oleh karena itu, kewajiban untuk melakukan penyesuai pengawasan antar instansi dimaksud, diusulkan diatur dalam bentuk peraturan pemerintah.