Abstrak
Sistem kejaksaan RI pernah berada di bawah konfigurasi politik yang sangat kuat, sehingga aspek - aspek universal yang berlaku tidak dapat diterapkan dengan baik dalam sistem Kejaksaan RI. Kondisi objektif seperti itu sulit dihindari mengingat produk legislasi yang mengatur posisi dan fungsi Kejaksaan RI, baik yang lalu maupun UU Nomor 16 tahun 2004, di satu sisi menetapkan Kejaksaan RI sebagai 'lembaga pemerintahan' dan status Jaksa Agung sebagai pembantu Presiden karena diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada Presiden. Disisi lain, dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU, Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (een en ondeelbaar) dan Jaksa Agung adalah pimpinan, dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan. Disamping itu, dalam upaya penegakan hukum, institusi - institusi penegak hukum semakin ditingkatkan perannya oleh UU dengan kewenangan yang luas, namun justru sebaliknyalah yang terjadi di Kejaksaan. Oleh KUHP kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan terhadap tindak pidana umum dan pidana tertentu dipangkas, bahkan melalui produk legislasi belakangan ini, penanganan tindak pidana korupsi, baik penyidikan maupun penuntutan tidak lagi sepenuhnya menjadi kewenangan Kejaksaan. Dalam posisi dan fungsi yang demikian, tetap saja sorotan tajam dan tudingan miring ditujukan kepada Kejaksaan. Kejaksaan tetap dituntut untuk tidak saja mampu berperan dengan baik dan benar, tetapi juga mampu membentuk jati diri sebagai salah satu institusi pelaksana kekuasaan negara, bukan sebagai alat kekuasaan. Oleh karena itu, sewajarnyalah kalau ke depan Kejaksaan perlu meneguhkan eksistensinya dengan mengeliminir pengaruh negatif sistem hukum terhadap posisi dan fungsinya agar kejaksaan menjadi lebih profesional dan dinamis menghadapi perkembangan dan perubahan.