Abstrak
Pembuatan skripsi ini dilatar belakangi tulisan yang ada dalam buku Indonesian Top Secreet (M. Tito Kamavian, 2008), yang menyebutkan bahwa, penanganan sensitif dilakukan kepada korban kasus teror Poso. Kasus teror Paso dari sebagian kelompok Muslim di Poso timbul akibat dendam konflik yang terjadi di Poso tahun 1995-2001. Dalam skripsi ini di fokuskan terhadap kasus mutilasi 3 siswi Poso, kasus pembakaran rumah Malingga, dan kasus pembakaran rumah Sudaryanto. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimanakah penanganan terhadap korban tindak pidana pembunuhan berencana kasus mutilasi 3 siswi Poso yang selamat dan korban pembakaran rumah Malingga serta rumah Sudaryanto oleh Satgas Bareskrim Poso sehingga dianggap Iebih sensitif terhadap korban?, dengan dua pertanyaan yang menjadi fokus dart penelitian sebagai berikut: a. Mengapa Satgas Bareskrim Poso menangani korban secara sensitif? b. Apakah hat itu masih terns berlanjut hingga saat ini? Teori yang digunakan adalah teori peran (Biddle & Thomas, 1996), dan teori harapan peran (Biddle & Thomas, 1996), dengan pendekatan penelitian kualitatif dan metode penelitian studi kasus, serta menggunakan teknik penelitian dengan cara wawancara, studi dokumen, dan observasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa penanganan sensitif kepada korban memang telah diberikan oleh Satgas Bareskrim Poso kepada korban mutilasi 3 siswi Poso yang selamat (Novi Malewa), korban pembakaran rumah Malingga,dan korban pembakaran rumah Sudaryanto, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan. Alasan diberikannya kerena, pada saat kasus terjadi, kondisi Polri tidak dipercaya lagi eksternal maupun internal Polri sendiri khususnya korban, sehingga Polri (Satgas Bareskrim Poso) mengalami kesulitan untuk berkornunikasi dengan korban dalam rangka penyelidikan, dan untuk tujuan pengungkapan kasus yang terjadi dalam rangka penegakan hukurn. Namun setelah pelaku divonis, penanganan sensitif terhadap korban tidak lagi diberikan. Saat ini (setelah pelaku divonis), korban masih merniliki harapan terhadap Satgas Bareskrim Poso. Dad harapan tersebut, korban berharap Satgas Bareskrim Poso dapat memenuhinya. Oleh sebab itu, sebaiknya Polri, bersamasama dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Pemda, Jaksa, dan Hakim dapat saling berkoordinasi untuk memberikan penanganan sensitif mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan, serta sesudah proses pengadilan, sehingga istilah neglected victim dapat dihilangkan, rubah undang-undang no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban menjadi Iebih obyektif lagi (tidak hanya menangani korban dalam kasus tertentu, melainkan semua kasus) dalam hal penanganan korban dan memberikan beban penanganan korban tidak hanya kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), melainkan kepada Polri, Jaksa, Hakim, dan Pemda.