Upaya perlindungan Polri kepada anak sebagai korban kejahatan seksual dapat dilihat dari salah satu kasus pedophilia di wilayah hukum Polres Mataram Nusa Tenggara Barat. Kasus pedophilia ini dilakukan oleh seorang guru Sekoiah Dasar (SD) dengan inisial XYZ yang melakukan perbuatan sodomi muridnya berinisial XXX.
Melalui studi kualitatif dengan metode studi kasus, dilihat 3 hal, yakni: gambaran kasus pedophilia yang dilakukan XYZ terhadap XXX, upaya Satreskrim Polres Mataram dalam memberi perlindungan terhadap XXX sebagai korban pedophilia, dan kendala apa yang dihadapi Satreskrim Polres Mataram selama memberi perlindungan terhadap hak-hak anak sebagai korban kejahatan seksual. Teori/konsep adalah ketentuan dalam KUHP, KUHAP dan peraturan lain. Terjadinya kasus pedophila ditinjau dari pandangan Interpersonal Dominance Theory dari Thomas & Hepburn yang melihat tingkah laku kekerasan dalam pola struktural yang berbentuk hubungan asimetris. Selain itu, digunakan konsep dari Soerjono Soekanto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui kekuasaannya sebagai seorang guru di SDN 2 Kekait, XYZ tidak saja hanya melakukan sodomi kepada XXX saja, melainkan terhadap 14 orang murid SDN 2 Kekait turut pula menjadi korban sodomi.Upaya Satreskrim Polres Mataram dalam memberi perlindungan terhadap XXX, korban pedophilia dilakukan dengan Unit PPA yang bertugas melaksanakan penyidikan terhadap perempuan dan anak.
Selama pemeriksaan, Unit PPA melakukan langkah-langkah : Pertama, segera mengontak orang tua atau walinya. Kedua, mencatat identitas korban dengan Iengkap ataupun data mengenai anak/korban, kronologis kejadian termasuk suasana dan situasinya. Ketiga, meminta VER kerumah sakit terdekat untuk pemeriksaan fisik dan mental secara cermat sesegera mungkin dalam waktu 24 jam. Keempat, apabila dibutuhkan perlindungan, seperti perlindungan hukum, maka hal tersebut diambil. Kelima, segera rujuk anak kepada PPT atau PKT terdekat untuk evaluasi yang mendalam terhadap kasus yang dialami oleh anak/korban dan penetapan rujukan terakhir kelembaga yang tepat. Keenam, penyelesaian proses pidana terhadap perkara dimana anak sebagai korban harus diprioritaskan untuk segera diserahkan ke JPU. Ketujuh, penegak hukum harus memperhatikan kebutuhan anak sebagai korban..Kendala yang dihadapi adalah lemahnya koordinasi antara penyidik dengan instansi pemberi perlindungan anak dalam penentuan waktu dilaksanakan penyidikan terhadap beban mental. Sebagai saran adalah perlu peningkatan koordinasi antar instansi yang memiliki kepentingan untuk perlindungan hak-hak anak.