Abstrak

Penebangan eksploitasi hasil hutan kayu yang dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian akan menimbulkan banana di kemudian hari. Tindak pidana kehutanan pada saat ini merupakan issue yang mendunia, hal ini disebabkan makin menipisnya bahan baku kayo yang.ada di dunia Selain itu demand terhadap kebutuhan kayu justru semakin bertambah, hal inilah yang menyebabkan maraknya ilegal logging. Selain itu dengan disahkannya Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dalam implementasinya justru disalah gunakan oieh oknum pejabat tertentu, yang membuat kebijakan penerbitan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu di Papua tanpa mengindahkan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang bersifat lex spesialis.

Penelitian ini berisikan 6 Bab dengan 4 permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana mekanisme prosedur penerbitan ijin pemungutan kayu masyarakat adat di Papua, dan untuk mengetahui bagaimanakah legalitas perijinan tersebut apabila ditinjau dari UU. No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan oleh satuan Reserse Kriminal Polres Fakfak dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses penyidikannya daan kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam rangka proses penyidikannya.

Temuan penelitian yang diperoleh adalah bahwa proses penerbitan ijin pemungutan kayu masyarakat adat (IPKMA) tidak sesuai dengan mekanisme, sebagaimana dimaksud dalam Peratutan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 tentang Penata Usahaan Hasil Hutan dan Keputusan Mentri Kehutanan nomor. 6886/Kep.Men.Hut/11/2003 tentang tata cara penerbitan ijin pemungutan hasil hutan kayu pada hutan produksi. Demikian pula bila ditinjau dan UU.No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, ijin pemungutan kayu masyarakat adat papua yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Papua sesungguhnya tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.

Dengan terbitnya Inpres No. 5 tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan illegal logging di seluruh wilayah Republik Indonesia, hal ini kemudian ditindak lanjuti dengan pelaksanaan Operasi Hutan Lestari II yang dilakukan khusus di wilayah Propinsi Papua. Hal ini kemudian ditindak lanjuti oleh Polres Fakfak dengan membentuk Tim tindak terhadap giat IPKMA dengan tugas utama adalah melakukan penyelidikan serta penyidikan termasuk terhadap IPKMA Koperkam Madewana. Namun pada kenyataannya kegiatan penebangan yang dilakukan oleh para perusahaan yang memanfaatkan ijin tersebut sudah terhenti terhitung tanggal 31 Desember 2004, hal ini di sebabkan oleh adanya surat dari Dinas Kehutanan Propinsi Papua pada bulan Oktober agar paling lambat tanggal 31 Desember 2004 mereka sudah menghentikan kegiatan penebangannya.

Dalam Skripsi ini penulis mencoba untuk menggali fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian dan kemudian dianalisis melalui instrumen penegakan hukum kehutanan secara administrasi yaitu melalui pendekatan teknis kehutanan maupun secara yuridis untuk dapat menggambarkan upaya penegakan hukum dari sudut pandang hukum pidana Kehutanan sehingga dapat menjerat para tersangka yang ada yaitu Direktur CV. Kamberau sdr. Andri Tenrigau dan All Lapota, dan kepada tersangka Bunjono yang melarikan diri dan dimasukkan kedalam Daftar Pencarian Orang.

Pada akhir Penulisan Skripsi ini akhirnya penulis mendapatkan kesimpulan bahwa: 1) Bahwa Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat Papua (IPKMA) tidak sesuai dengan mekanisme dan tata cara penerbitan ijin pemungutan hasil hutan kayu yang sebenarnya dan dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan prinsip dasar asas-asas kehutanan, yaitu: asas manfaat, asas kelestarian, asas perusahaan, dan asas perlindungan hutan. 2) Dengan adanya penyimpangan mulai dari proses penerbitan ijin, penulis sependapat dengan para penyidik bahwa Kepala Dinas Kehutana Propinsi Papua bukaniah pejabat yang memiliki kekuasaan untuk menerbitkan ijin het bevoedge gezag sehingga para pelaku yang terlibat dengan IPKMA Koperkam Madewana dapat diminta pertanggung jawaban secara hukum pidana. 3) Penyidikan yang dilakukan ales pare penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Fakfak sudah proporsional dan para penyidik yang menjalankan tugasnya telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi Profesional. Namun demikian dari hash penyidikan yang dilakukan beium menyentuh kepada aktor intelektual, penyandang Jana yang mendanai operasional penebangan kayu IPKMA Koprkam Madewana. 4) Konsep teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: a) Faktor Undang-undang / Hukum b) Faktor Penegak hukum / aparatnya sendiri c) Faktor sarana dan fasilitas d) Faktor kesadaran hukum masyarakat e) Faktor budaya masyarakat

Terbukti mempengaruhi upaya-upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan oleh Polri khususnya Satuan Reserse Kriminal Polres Fakfak.

Diakhir skripsi ini, penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1) Dalam melakukan penyidikan tindak pidana kehutanan, koordinasi antara Criminal justice System perlu ditingkatkan kembali, terutama untuk memahami anatomi Tindak Pidana Kehutanan yang terjadi, disamping itu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan perlu diberdayakan karena memiliki kelebihan penguasaan teknis Kehutanan 2) Perlunya menyamakan persepsi dan lebih memperjelas batas-batas kewenangan tentang penerbitan ijin antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terutama dalam era otonomi saat ini. 3) Pertlunya peningkatan Sumber Daya Manusia para penyidik melalui pendidikan kejuruan yang terkait dengan penyidikan tindak pidana kehutanan 4) Perlunya dukungan saranan dan fasilitas maupun anggaran dalam penanganan kasus-kasus kehutanan. 5) Perlunya sosialisasi kepada masyarakat tentang aturan-aturan yang terkait dengan kehutanan.