Abstrak
Usaha perdagangan kakilima merupakan salah satu bidang usaha dalam sektor informal yang mampu menyerap tenaga kerja cukup besar, hal ini disebabkan sektor usaha tersebut tidak memerlukan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi, modal yang tidak besar dan waktu yang tidak terikat. Sehingga usaha ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kemauan melakukan usaha dalam sektor ini.
Di Jakarta khususnya di Pasar Minggu usaha ini dilakukan tidak saja oleh warga Jakarta tetapi juga banyak dilakukan oleh para pendatang dari luar Jakarta yang datang ke Jakarta untuk mengadu nasib dengan berjualan sebagai pedagang kakilima. Mereka menempati suatu lokasi tertentu ditempat umum membentuk sebuah lingkungan pasar kakilima, yang didalamnya mempunyai corak masyarakat yang majemuk baik dari jenis kegiatan usaha yang dilakukan maupun daerah asal kedatangan atau kesuku bangsaannya.
Kemajemukan jenis kegiatan usaha ini mewujudkan suatu hubungan sosial yang bersifat komplementer dan simbiotik. Sedangkan kemajemukan suku bangsa mewujudkan suatu pengelompokan pedagang berdasarkan daerah asal atau suku bangsanya yang juga merupakan pengelompokan dari jenis barang dagangan yang diperjual belikan. Adanya pengelompokan kesukubangsaan ini maka timbul suatu ikatan kelompok suku bangsa yang memiliki seorang Ketua Kelompok Suku Bangsa yang dipilih oleh warga suku bangsa tersebut sebagai seorang yang dituakan dan dihormati. Hubungan antara Ketua Kelompok dengan warga dalam kelompoknya tersebut merupakan hubungan patron - klien yang bersifat hubungan bapak - anak .
Dalam kehidupan kelompok tersebut timbul suatu kesepakatan-kesepakatan tentang bagaimana menjalankan usaha perdagangan dengan baik, upaya menghindari persaingan dan perselisihan sesama pedagang serta usaha-usaha mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan warganya yang dipimpin oleh Ketua kelompoknya. Sehingga dengan berbagai upaya tersebut maka para warga kelompok tersebut merasa bergantung kepada ketuanya. Walaupun terjadi pengelompokan yang demikian namun dalam kegiatan perdagangan mereka tidak menonjolkan kebudayaan sukubangsanya tetapi lebih menggunakan aturan-aturan yang berlaku umum lokal dalam lingkungan pasar kakilima tersebut.
Salah satu sifat pedagang kakilima dalam melakukan usahanya adalah dengan menyongsong pembeli sehingga mereka banyak menempati lokasi di tempat-tempat umum dan dipinggir jalan raya. Keberadaan mereka di tempat tersebut melanggar Peraturan Pemda DKI No.11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, menimbulkan kemacetan arus lalu lintas, menimbulkan sampah yang mengganggu kebersihan dan menjadi tempat rawan terjadinya tindak kriminalitas. Dengan kondisi yang demikian ini khususnya untuk mengantisipasi tindakan penertiban maka muncul pelindung yang memberikan jasa keamanan kepada para pedagang yang disebut dengan Koordinator Pedagang yang secara tidak resmi ditunjuk oleh aparat setempat untuk mengelola pedagang kakilima. Sebagai Koordinator maka ia membuat aturan-aturan dalam kegiatan perdagangan kakilima yang menyangkut perolehan lokasi, pengaturan posisi berdagang, pembayaran cukai dan sebagai perantara ( brokerage ) bila ada masalah antara pedagang dengan aparat. Hubungan yang terjadi antara pedagang kakilima dengan Koordinator pedagang ini merupakan hubungan patron-klien dimana sebagai klien maka para pedagang merasa tergantung kepada patron mengenai kegiatan usahanya tersebut. Sebagai timbal balik atas jasa patron ini maka para pedagang membayar uang cukai kepada Koordinator pedagang ini.
Dengan adanya aturan-aturan yang terbentuk tersebut baik yang bersumber dari kesepakatan dalam kehidupan kelompok suku bangsa maupun aturan yang diciptakan oleh Koordinator, yang diikuti dan dijadikan pedoman oleh para pedagang dalam melakukan kegiatan berdagangnya, maka mewujudkan suatu tindakan berpola atau pola kegiatan-pola kegiatan dalam kehidupan pedagang kakilima. Dengan adanya pola kegiatan-pola kegiatan tersebut maka hal itu merupakan suatu keteraturan sosial dalam kehidupan pedagang kakilima, yaitu merupakan suatu aturan atau pedoman kegiatan yang berwujud perilaku individu, kelompok atau masyarakat dalam melakukan kegiatan berdagangnya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
Corak keteraturan sosial dalam kehidupan pedagang kakilima di Pasar kota pasar Minggu tersebut adalah adanya ketergantungan klien pada patron baik Koordinator Pedagang maupun ketua Kelompok suku bangsa. Pedagang kakilima sebagai masyarakat yang lemah merasa memerlukan perlindungan agar usahanya dapat berjalan dengan baik dan hal ini mereka dapatkan dengan adanya perlindungan dari Koordinator Pedagang. Sedangkan untuk menjamin kelancaran usaha dan menghindari persaingan yang tidak sehat serta meningkatkan kesejahteraan dan bantuan modal, mereka peroleh dari kegiatan Kelompok Suku Bangsa yang dpimpin oleh Ketua Kelompok Suku bangsa. Keberadaan kedua patron tersebut mampu menghindarkan terjadinya konflik antar suku bangsa dalam lingkungan pasar kakilima karena adanya kesadaran untuk mengikuti aturan-aturan yang berlaku umum dan lokal serta menekan kemenonjolan identitas suku bangsanya.
Corak keteraturan sosial yang berlaku dalam masyarakat berbeda antara masyarakat satu dengan yang lainnya dengan kata lain setiap masyarakat memiliki corak keteraturan sosial masing-masing. Dengan demikian dalam upaya pembinaan kamtibmas yang dilakukan oleh Polri tidak bisa memberlakukan pola yang sama untuk seluruh masyarakat tetapi harus sesuai dengan corak keteraturan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu dalam melakukan pembinaan tidak dapat menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Markas Besar Polri yang berlaku seragam secara nasional tetapi harus dijabarkan sesuai dengan situasi dan kondisi serta corak keteraturan sosial yang berlaku dalam masyarakat yang dibina. Sehingga upaya pembinaan yang dilakukan dapat efektif dan efisien dan harus didukung dengan sarana dan prasarana yang mencukupi baik sumber daya manusianya, dukungan materiil dan anggaran yang cukup.